KERJASAMA REGIONAL, BILATERAL DAN MULTILATERAL INDONESIA

KERJASAMA REGIONAL, BILATERAL DAN MULTILATERAL INDONESIA

Dalam kurun waktu 2005-2009, berbagai kalangan menganggap bahwa tahun 2008 merupakan tahun yang tidak menguntungkan bagi setiap negara karena terganggunya perkembangan makro ekonomi disemua negara. Penyebabnya tak lain disebabkan oleh dampak krisis keuangan global yang melanda dunia. Besarnya dampak dari krisis yang dialami oleh setiap negara sangat bergantung pada kebijakan yang diambil dan fundamental ekonomi negara yang bersangkutan. Beruntung Indonesia masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif jika dibandingkan dengan negara tetangga yang pertumbuhan ekonominya menjadi minus seperti Singapura sampai menembus 2 digit.

Penurunan ekspor dan perlambatan pertumbuhan investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih akan terjadi di tahun 2010. Upaya yang dilakukan untuk menjaga kemerosotan pertumbuhan ekonomi, diantaranya ditempuh melalui penyelesaian hambatan atas berbagai produk-produk Indonesia di negara mitra dagang, karena ada kecenderungan dalam masa krisis ini hampir setiap negara melakukan proteksi untuk melindungi pasar mereka yang mana kebijakan tersebut bertentangan dengan aturan yang ada. Oleh karena itu, kebijakan yang dilakukan oleh beberapa negara dalam rangka melindungi pasar mereka cenderung tidak transparan.

Upaya yang dilakukan oleh Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional adalah secara terus menerus mendorong perundingan disemua fora perundingan melalui 3 (tiga) fora kerjasama, yaitu: (i) fora multilateral; (ii) fora regional; dan (iii) fora bilateral.

I. Forum Kerjasama Multilateral

Di WTO, perundingan Doha Development Agenda (DDA) masih berjalan dan pada saat ini sedang ada proses intensif di Geneva untuk membahas draft text yang disiapkan oleh Chairman dari Kelompok Perundingan Pertanian dan Non-Pertanian. Indonesia, sebagai koordinator G-33, tetap mempertahankan posisinya berkaitan dengan Special Products.

Perbedaan mendasar dari rumitnya perundingan DDA antara lain terletak pada 3 isu utama (Triangle Issues) yaitu:

(i) Domestic Support (terkait dengan subsidi pertanian) dan Market Access (terkait dengan penurunan tarif;

(ii) Special Product/SP dan Special Safeguard Mechanism/SSM) di bidang Pertanian; serta

(iii) Formula penurunan tarif di Bidang Non-Agricultural Market Access (NAMA).

Dari isu tersebut, Indonesia berkepentingan untuk memperjuangan Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) di forum WTO karena kedua isu tersebut terkait langsung dengan pengentasan kemiskinan, pembangunan pedesaan, dan ketahanan pangan bagi bangsa Indonesia.

Selain itu, dalam kerangka Organisasi Komoditi Internasional, Indonesia telah meratifikasi ”International Coffee Agreement (ICA) 2007” melalui peraturan Presiden RI No. 63 Tahun 2008, tanggal 19 Oktober 2008. Ratifikasi ICA ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan perolehan keuntungan dari komoditi kopi bagi kesejahteraan masyarakat petani maupun produsen kopi.

Dalam upaya melakukan pembelaan terhadap kelancaran arus ekspor Indonesia dan mempertahankan akses pasar ekspor ke manca negara, maka sejak tahun 2005 hingga sampai akhir tahun 2009, Indonesia telah menangani kasus tuduhan dumping, subsidi dan safeguards sebanyak 196 kasus, yang terdiri dari tuduhan dumping sebanyak 163 kasus, tuduhan subsidi 12 kasus, dan terkena tindakan safeguards sebanyak 21 kasus.

II. Forum Regional

Komitmen yang paling penting dalam perjanjian perdagangan internasional yang bersifat regional adalah ASEAN Charter dan kesepakatan ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint yang ditandatangani oleh masing-masing Kepala Negara pada ASEAN Summit pada bulan Nopember 2007 yang lalu.

Terdapat 4 (empat) pilar yang menjadi strategi dalam membangun ASEAN Economic Community/Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yaitu :

(1) Pasar Tunggal dan Berbasis Produksi;

(2) Wilayah berdaya saing Ekonomi;

(3) Pembangunan Ekonomi yang Adil dan Merata; dan

(4) Integrasi dengan Perekonomian Global.

Berbagai Persetujuan maupun kesepakatan dalam kerangka MEA telah disepakati. Khusus dalam pilar Pasar Tunggal dan Berbasis Produksi, beberapa Persetujuan penting telah kita tandatangani yang meliputi :

(i) Persetujuan di Bidang Perdagangan Barang (ATIGA),

(ii) Persetujuan di Bidang Perdagangan Jasa (AFAS Paket ke-7), dan Persetujuan di Bidang Investasi (ACIA).

Dalam rangka implementasi ATIGA secara lebih komprehensif, khususnya terkait dengan penghapusan Non Tariff Barriers (NTB) secara bertahap sejak 2008 hingga 2010, Indonesia belum dapat melakukannya. Untuk AFAS Paket 7 dan ACIA, penyelesaian ratifikasi diprediksi akan mengalami kelambatan sehubungan dengan belum disepakatinya komitmen pendukung pelaksanaannya. Untuk itu, Indonesia dan Negara Anggota ASEAN lainnya mendorong sektor terkait masing-masing untuk menyelesaikan komitmen pendukung tersebut agar dapat dapat difinalisasi sesuai.

Di luar AEC, perundingan ASEAN dengan mitra dialog juga dilakukan yaitu dengan RRT, Korea, Jepang, Australia-New Zealand dan India. Kerjasama ekonomi lainnya yang dilakukan di forum Regional adalah melalui kerjasama ekonomi APEC telah mendorong menyelesaikan krisis ekonomi global, percepatan integrasi ekonomi regional serta mendukung proses penyelesaian perundingan WTO DDA agar dapat diselesaikan pada waktu yang tepat dengan mengakomodir kepentingan banyak anggota.

III. Forum Bilateral

Indonesia telah melakukan dan meyelesaikan negosiasi perjanjian perdagangan bilateral yang komprehensif dengan Jepang, yaitu Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) yang ditandatangani oleh kedua kepala negara bulan Agustus yang lalu. Hal utama yang memerlukan koordinasi agar hasil optimal dari IJ-EPA bisa direalisasikan oleh pihak Indonesia adalah bagian capacity building.

Sejak implementasi IJEPA tanggal 1 Juli 2008 Indonesia telah mengirim 104 nurses dan 104 caregivers. Selain itu juga Jepang akan memindahkan tempat pelatihan bahasa Jepang untuk calon nurse dan caregiver ke Indonesia Pada tahun 2009.

Kerjasama dalam kerangka Free Trade Area merupakan yang pertama dilakukan oleh Indonesia dengan negara mitra. Untuk itu, Indonesia secara terus menerus menggarap kerjasama yang sama dengan negara mitra dagang lainnya yang kesemuanya dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing produk-produk ekspor Indonesia.

Untuk perundingan bilateral yang selanjutnya, ada tiga yang telah selesai studi kelayakannya, yaitu dengan EFTA (European Free Trade Association) yang terdiri dari Norway, Iceland, Switzerland dan Liechtenstein), India dan Australia.

Isu lain yang dihadapi secara bilateral dengan beberapa negara mitra dagang, antara lain adalah masih terdapat berbagai hambatan Non-Tarif atau aturan-aturan yang cukup memberatkan seperti “REACH” yang dikeluarkan oleh Uni Eropa yang mencakup Registration, Evaluation, Authorisation and Restriction of Chemicals. Hambatan lain yang diterapkan oleh negara lain antara lain legalisasi dokumen ekspor, keharusan calling visa bagi pengusaha RI, dan masalah pembayaran. Selain itu, L/C kerap mengalami penundaan pencairan, prosedur pencairan yang kaku juga membuat dana-dana yang dibutuhkan pengusaha Indonesia menjadi terlambat diterima, serta belum adanya pembayaran langsung. Upaya yang telah dilakukan antara lain; memfasilitasi registrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Pendekatan kepada Parlemen UE guna menjelaskan bahwa Palm oil Indonesia telah memenuhi persyaratan lingkungan (substainability).

Dari berbagai perundingan yang telah dilakukan, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional juga telah melakukan sosialisasi Hasil Kesepakatan Kerjasama Perdagangan Internasional di pusat dan di berbagai daerah. Dalam pelaksanaannya kegiatan sosialisasi tersebut bekerjasama dengan KADIN, dan Pemerintah Daerah.