Pengertian Pasar secara tekstual dalam teori ekonomi mengandung unsur permintaan, penawaran dan Harga. Pasar dalam pengertian ini hanyalah sekedar alat teknis untuk mengalokasikan barang dan jasa. Adam Smith sebagai orang yang pertama memperkenalkan teori ekonomi pasar menyebutkan bahwa pasar dimaksudkan untuk mengatur pengalokasian sumberdaya yang optimum untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui kebebasan individu dan kapital yang dimiliki oleh swasta. Pasar, masih menurut Smith, tidak membutuhkan perencanaan dan pengawasan dari pihak manapun, baik pemerintah atau institusi lainnya, biarkan saja apa adanya dan suatu invisible hand akan mengatur kembali kearah keseimbangan.
Namun saat ini pengertian Pasar tidak lagi dianggap sebagai sekedar alat teknis untuk mengalokasikan barang dan jasa, tetapi sudah dianggap sebagai satu-satunya cara yang mungkin untuk mengatur masyarakat, bahkan kekuatan pasar ini diyakini dapat memecahkan berbagai problem pembangunan dunia. Bahkan beberapa orang percaya bahwa tidak hanya produksi, distribusi dan konsumsi yang tunduk pada pasar, namun juga kehidupan dan kebangsaan pun harus menyesuaikan diri dengan pasar. Perubahan definisi dan makna pasar ini oleh beberapa pakar disebut sebagai kapitalias yang berganti mantel yang kadangkala disebut neoliberal. Pasar Neoliberal tumbuh melintasi batas negara, merasuk ke lembaga pemerintahan, bermetamorfosis pada kapitalis global dan lokal dan ditunjang oleh teknologi informasi yang canggih.
Ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya pasar neoliberal sedemikian dahsyatnya yaitu munculnya Multinational Corporation (MNC) yang memiliki asset kekayaaan yang bahkan lebih besar dari negara tujuan. Dalam prakteknya MNC ini semata-mata bertujuan untuk mengeruk keuntungan tanpa memperdulikan kondisi nasionalime negara tempat MNC berada. Disamping itu ketangguhan pasar neoliberal ini didukung oleh hadirnya 3 organisasi “pengatur” ekonomi dunia yaitu : World Bank, World Trade Organisation (WTO) dan International Monetary Fund (IMF). Ketiga organisasi ini bekerja untuk menjamin bahwa negara-negara diseluruh dunia patuh menjalankan prinsip pasar bebas dan perdagangan bebas. Bila ternyata ada negara-negara yang tidak mematuhi, biasanya akan ada sanksi yaitu berupa embargo, dikucilkan, hambatan tarif dan non tarif dan lain-lain. Ironisnya, keberadaaan 3 lembaga ini mebuat negara-negara seolah kehilangan harga diri dan nasionalisme, ketika negara dituntut “laissez faire” terhadap produk, produksi dan distribusi, justru muncul 3 organisasi ini yang ikut intervensi dalam segala kebijakan ekonomi. Tiga Organisasi dan organisasi patronasenya muncul sebagai “Negara diatas Negara” dan demokrasi ekonomi terpimpin Soekarno diadaptasi dengan nama baru : Demokrasi Ekonomi Global Terpimpin
Kita mungkin masih mengingat, betapa krisis ekonomi 1997 yang merusak segala sendi perekonomian dan merusak mental dan budaya bangsa, diyakini oleh banyak pihak adalah hasil nyata kebijakan pasar neoliberal : yaitu ketika Indonesia menganut sistem Devisa Bebas dan perdagangan bebas, yang ditandai dengan bangkrutnya perusahaan-perusahaan, PHK Buruh, cadangan devisa yang menipis dan Capital Flight dalam jumlah ratusan juta dollar.
Dari pengalaman beberapa negara termasuk indonesia dalam bersinggungan dengan pasar global yang ternyata lebih banyak cost atau dampak negatifnya, lantas timbul pertanyaan : kenapa kita harus terlalu menghambakan diri dan kenapa kita harus memandang bahwa pasar global sebagai satu-satunya sistem teknis yang terbaik? Berbagai kesadaran-kesadaran baru muncul untuk mempertanyakan eksistensi pasar global. Beberapa pemenang nobel ekonomi seperti Amartya Sen dan Joseph Stigliz membeberkan secara detail ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Mereka menarik kesimpulan bahwa dunia tidak akan menjadi lebih baik , makmur dan adil hanya karena pasar bebas, justru telah terjadi eksploitasi ekonomi yang begitu hebatnya dan lebih parah lagi : pasar bebas telah membeli jiwa nasionalisme dan kebudayaan. Demikian juga di Indonesia, kesadaran muncul dikalangan mahasiswa dan masyarakat ketika mereka menolak calon menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu yang mereka anggap sebagai perpanjangan tangan penguasa pasar global yaitu Sri Mulyani dan Marie Pangestu. Disamping itu, penolakan terhadap pasar bebas juga dilakukan oleh mahasiswa yang berasal dari negara penguasa pasar bebas tersebut yaitu mahasiswa AS, Inggris, Jerman dan Perancis dengan secara radikal.
Lalu, setelah kita mengetahui lebih banyak dampak negatif ketimbang positif dalam diri pasar bebas dan neoliberal, apakah kita di Batam harus terus terpesona dengan gilasan neoliberal yang berkedok Free Trade Zone, yang dimotori oleh Singapura yang sama-sama kita ketahui sebagai patron setia Amerika? Atau apakah memang Free Trade Zone itu alat teknis satu-satunya yang ampuh untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi?. Lalu dimana akan kita sembunyikan nasionalisme dan kebangsaan kita yang telah dirintis oleh Bung Karno dan Bung Hatta dengan susah payah dan kini telah tercabik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar