SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI INDONESIA

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.

Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.

Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya.


Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Munculnya Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.

Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.

Selain hal tersebut, kurang memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang efektif dengan sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu sebagian besar masih merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk Orde Baru. Dengan demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi. Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah kuat, kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.

Akibat dari hal tersebut, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya memerintah masyarakat.

Prinsip-prinsip demokrasi
Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial. Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
  1. Kedaulatan rakyat;
  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
  3. Kekuasaan mayoritas;
  4. Hak-hak minoritas;
  5. Jaminan hak asasi manusia;
  6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
  7. Persamaan di depan hukum;
  8. Proses hukum yang wajar;
  9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Asas Pokok Demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
  1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
  2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Ciri-Ciri Pemerintahan Demokratis
Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik. Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
  5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).

Sejak merdeka, Indonesia telah mempraktekkan beberapa sistem politik pemerintahan atas nama demokrasi, dari, oleh dan untuk rakyat.
1.      Tahun 1945-1959; Demokrasi Parlementer, dengan ciri ;
ü  Dominasi partai politik di DPR Kabinet silih berganti dalam waktu singkat
ü  Demokrasi Parlementer ini berakhir dengan Dekrit Presiden 1959.
2.      Tahun 1959-1965; Demokrasi Terpimpin, dengan ciri-ciri : 
ü  Dominasi presiden, yang membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, menggantikannya dengan DPR-GR yang diangkat oleh Presiden, juga diangkat presiden seumur hidup oleh anggota parlemen yang diangkat presiden itu. Terbatasnya peran partai politik Berkembangnya pengaruh komunis
ü  Munculnya ideologi Nasional, Agama, Komunis (NASAKOM)
ü  Meluasnya peranan militer sebagai unsur sosial politik
ü  Demokrasi terpimpin berakhir dengan pemberontakan PKI September 1965.
3.      Tahun 1965-1998; Demokrasi Pancasila; dengan ciri-ciri:
ü  Demokrasi berketuhanan
ü  Demokrasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab
ü  Demokrasi bagi persatuan Indonesia
ü  Demokrasi yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
ü  Demokrasi berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Kita tidak menafikan betapa indah susunan kata berkaitan dengan Demokrasi Pancasila, tetapi pada tataran praksis sebagaimana yang kita lihat dan rasakan:
·         Mengabaikan eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana tidak merasa dikontrol oleh Tuhan. Para pemimpin, terutama presiden tabu untuk dikritik, apalagi dipersalahkan. Ini bermakna menempatkan dirinya dalam posisi Tuhan yang selalu harus dimuliakan dan dilaksanakan segala titahnya serta memegang kekuasaan yang absolut
·         Tidak manusiawi, tidak adil dan tidak beradab, dengan fakta eksistensi nyawa, darah, harkat dan martabat manusia lebih rendah dari nilai-nilai kebendaan
·         Tidak ada keadilan hukum, ekonomi, politik dan penegakan HAM.
·         Pemilu rutin lima tahunan, tetapi sekedar ritual demokrasi. Dimana dalam prakteknya diberlakukan sistem Kepartaian Hegemonik, yakni pemilu diikuti oleh beberapa partai politik, tetapi yang harus dimenangkan, dengan menempuh berbagai cara, intimidasi, teror, ancaman dan uang, hanya satu partai politik.

4.      Tahun 1998- sekarang, orde reformasi dengan ciri-ciri enam agenda:
ü  Amandemen UUD 1945
ü  Penghapusan peran ganda (multifungsi) TNI
ü  Penegakan supremasi hukum dengan indikator mengadili mantan Presiden Soeharto atas kejahatan politik, ekonomi dan kejahatan atas kemanusiaan.
ü  Melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya
ü  Penegakan budaya demokrasi yang anti feodalisme dan kekerasan
ü  Penolakan sisa-sisa Orde Lama dan Orde Baru dalam pemerintahan

KONSEP-KONSEP POLITIK

I. Teori Politik
Konsep politik lahir dalam pikiran (mind) manusia dan bersifat abstrak. Konsep digunakan dalam menyusun generalisasi abstrak mengenai beberapa phenomena, yang disebut sebagai teori. Berdasarkan pengertiannya, teori politik bisa diakatakan sebagai bahasan dan generalisasi dari phenomena yang bersifat politik.
Menurut Thomas P. Jenkin dalam The Study of Political Theory, teori politik dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Norms for political behavior, yaitu teori-teori yang mempunyai dasar moril dan norma-norma politik. Teori ini dinamakan valuational (mengandung nilai). Yang termasuk golongan antara lain filsafat politk, teori politik sistematis, ideologi, dan sebagainya.
b. Teori-teori politik yang menggambarkan dan membahas phenomena dan fakta-fakta politk dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai (non valuational), atau biasa dipakai istilah “value free” (bebas nilai). Biasanya bersifat deskriptif dan berusaha membahas fakta-fakta politk sedemikian rupa sehingga dapat disistematisir dan disimpulkan dalam generalisasi-generalisasi.
Teori-teori kelompok (a) dibagi menjadi tiga golongan :
  1. Filsafat politik (political philosophy), yaitu mencari penjelasan berdasarkan ratio. Pokok pikiran dari filsafat politik ialah persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta harus dipecahkan dulu sebelum persoalan-persoalan politik yang kita alami sehari-hari dapat ditanggulangi.
  2. Teori politik sistematis (systematic political theory), yaitu mendasarkan diri atas pandangan-pandangan yang sudah lazim diterima pada masanya. Dengan kata lain teori ini hanya mencoba merealisasikan norma-norma dalam suatu program politk.
  3. Ideologi politik (political ideology), yaitu himpunan nilai-nilai, ide, norma, kepercayaan dan keyakinan, yang dimiliki seorang atau sekelompok orang, atas dasar mana dia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah lakunya.
II. Masyarakat
Manusia mempunyai naluri untuk hidup bersama orang lain secara bergotong-royong. Manusia memilih jalan untuk mengorganisir bermacam-macam kelompok dan asosiasi untuk memenuhi keperluan dan kepentingan-kepentingan fisik maupun mental yang sukar dipenuhi sendiri. Dan dalam kehidupan berkelompok ini, pada dasarnya manusia menginginkan nilai-nilai.
Dalam mengamati masyarakat, khususnya masyarakat Barat, Harold Laswell memperinci delapan nilai, yaitu :
  1. Kekuasaan
  2. Pendidikan/Penerangan (Enlightenment)
  3. Kekayaan (Wealth)
  4. Kesehatan (Well-being)
  5. Keterampilan (Skill)
  6. Kasih Sayang (affection)
  7. Kejujuran (Rectitude) dan Keadilan (Rechtschapenheid)
  8. Keseganan (Respect).
Masyarakat, menurut Robert Maciver, adalah suatu system hubungan-hubungan yang ditertibkan (Society means a system of ordered relations). Menurut Harold J. Laski dari London School of Economics and Political Science, masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai keinginan-keinginan mereka bersama (A society is a group of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants).
III. Kekuasaan
Kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-laku sesorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Kekuasaan sosial menurut Ossip K. Flechtheim adalah keseluruah dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegan kekuasaan (Social power is the sum total of all the capacities, relationship, and process by which compliance of others is secured for ends determinded by the power holder).
Ossip K. Flechtheim membedakan dua macam kekuasaan politik, yakni :
  1. bagian dari kekuasaan sosial yang terwujud dalam Negara (state power), seperti lembaga-lembaga pemerintahan DPR, Presiden, dan sebagainya.
  2. bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan kepada Negara.
Definisi yang dieberikan oleh Robert M. Maciver : Kekuasaan social adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah-laku orang lain, baik dengan cara langsung dengan memberi perintah, mamupun tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia (Social power is the capacity to control the behavior of others either directly by fiat or indirectly by manipulation of available means).
Robert M. Maciber mengemukakan bahwa kekuasaan dalam suatu masyarakat berbentuk piramida. Ini terjadi karena kenyataan bahwa kekuasaan yang satu membuktikan dirinya lebih unggul dari pada yang lain, yang berarti bahwa kekuasaan yang satu itu lebih kuat dengan jalan mengkoordinasi kekuasaan yang lain.
Kekuasaan yang paling penting adalah kekuasaan politik. Pengertian kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujaun-tujuan pemegang kekuasaan sendiri.
IV. Bentuk-Bentuk Negara
Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian, bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam bentuk-bentuk negara pada masa kini.

1. Negara Konfederasi
Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar) dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota Konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.”
Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara.
Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara) Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri tanpa intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi.
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap negara yang menjadi anggota Konfederasi.

2. Kesatuan
Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini, daerah atau provinsi).
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-waktu.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah pusat.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.
Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang, karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap masalah-masalah yang muncul di daerah.
Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau.
Ada sebagian kewenangan yang didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri.
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah.

3. Federasi
Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam.
Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada! Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini hanya ada di tangan pemerintahan Federasi.
Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming, West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas. Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di Washington D.C. (District Columbia).
Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang dari pusat.
Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan, wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu.
Di dalam negara Federasi, kedaulatan hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun, wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.
Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri, memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di masa Orde Baru.
Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata, mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.

V. Struktur Politik

Pengertian struktur Politik
Struktur Politik berasal dari dua kata yaitu, Struktur dan Politik. Struktur berarti badan atau organisasi, sedangkan politik berarti urusan Negara. Jadi secara harafiah struktur politik berarti badan atau organisasi yang berkenaan dengan urusan Negara. Untuk itu struktur politik selalu berkenaan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif, yaitu yang dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Sebagaimana Bertrand Russel mengatakan bahwa kekuasaan adalah konsep yang mendasar dalam ilmu social, seperti halnya energy dalam konsep ilmu alam. Menurut Muhtar Afandi, Kekuasaan adalah kkapasitas,, kapabilitas, atau kemampuan untuk mempengaruhi, menyakinkan, mengendalikan, menguasai dan memerintah orang lain.
Kelompok Elite
Menurut Pareto, yang disebut dengan kelompok elite adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elite merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto meyakini bahwa elite yang tersebar pada sektor pekerjaan yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas yang sama. Yakni orang-orang yang kaya dan pandai. Ia menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas atau kelas elite terbagi dalam dua kelompok, yakni elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). Sementara Gaetano Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan- keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan kekerasan.
Mosca meneliti komposisi elite lebih dekat lagi dengan mengenali peran ‘kekuatan sosial’ tertentu. Mosca mengenalkan konsep ‘sub elite’ yang merupakan kelas menengah dari para pegawai negeri sipil, para manajer industri, ilmuwan dan mahasiswa. Kelas menengah ini dianggapnya sebagai elemen vital dalam mengatur masyarakat. Menurutnya stabilitas politik ditentukan oleh lapisan kelompok menengah ini. Menurut Pareto, antara governing elite dan non-governing elite senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elite. Setiap elite yang memerintah, hanya dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi sirkulasi elite akan tetap berjalan karena secara individual baik elite keturunan maupun elite yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab biologis.
Kelompok kepentingan (Interest Group)
Sepanjang sejarah, kelompok kepentingan selalu ada beriringan dengan keberadaan negara atau pemerintahan yang ada. Bahkan, dalam sistem politik kerajaan sekalipun, kelompok kepentingan juga ada. Meski dalam kapasitas dan intensitas kegiatan yang minimalis, akibat represi kerajaan yang cenderung despotis. Kelompok kepentingan dalam sistem negara yang menganut demokrasi, seperti Indonesia, mendapatkan ruang yang cukup luas. Namun, sayangnya, ruang ini kerap kali tidak digunakan secara efektif dan maksimal akibat benturan kepentingan pada kelompok kepentingan itu sendiri.
Kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya. Perbedaan-perbedaan tersebut sangat mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial suatu bangsa. Gabriel A Almond dalam Interest Group and Interest Articulation-nya (Boston: Little Brown and Company, 1974), menyebutkan setidaknya ada empat kelompok kepentingan dalam kehidupan politik.
Pertama, kelompok anomik. Kelompok-kelompok anomik ini terbentuk di antara unsur-unsur masyarakat secara spontan dan hanya seketika. Dan, karena tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, kelompok ini sering tumpang tindih (overlap) dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non-konvensional, seperti demonstrasi, kerusuhan, tindak kekerasan politik, dan seterusnya. Sehingga, apa yang dianggap sebagai kelompok anomik ini mungkin saja tidak lebih dari tindakan kelompok-kelompok terorganisasi yang menggunakan cara-cara non-konvensional atau kekerasan.
Kedua, kelompok non-asosiasional. Seperti kelompok anomik, kelompok ini jarang sekali yang terorganisasi secara rapi. Selain itu, kegiatannya juga tidak begitu intens, hanya kadang kala. Wujud dari kelompok ini adalah kelompok-kelompok keluarga dan keturunan atau etnik, regional, status, dan kelas yang menyatakan kepentingan secara kadangkala melalui individu-individu, kepala keluarga, atau pemimpin agama. Secara teoretis, kegiatan kelompok non-asosiasional ini terutama merupakan ciri masyarakat belum maju, di mana kesetiaan kesukuan atau keluarga-keluarga aristokrat mendominasi kehidupan politik, dan kelompok kepentingan yang terorganisasi dan fokus tidak ada atau masih lemah.
Ketiga, kelompok institusional. Kelompok ini sifatnya formal dan memiliki fungsi-fungsi politik atau sosial lain di samping artikulasi kepentingan. Karena itu, organisasi-organisasi seperti partai politik, korporasi bisnis, badan legislatif, militer, birokrasi, dan ormas-ormas keagamaan sering kali mendukung kelompok ini atau memiliki anggota-anggota yang khusus bertanggung jawab melakukan kegiatan lobi. Sebagai kelompok yang formal seperti itu, kelompok ini bisa menyatakan kepentingannya sendiri maupun mewakili kepentingan dari kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Jika kelompok institusional ini sangat berpengaruh, biasanya akibat dari basis organisasinya yang kuat.
Keempat, kelompok asosiasional (lembaga-lembaga swadaya masyarakat). Kelompok asosiasional meliputi serikat buruh, kamar dagang, atau perkumpulan usahawan dan industrialis, paguyuban etnik, persatuan-persatuan yang diorganisasi oleh kelompok-kelompok agama, dan seterusnya. Secara khas, kelompok ini menyatakan kepentingan dari suatu kelompok khusus, memakai tenaga staf profesional yang bekerja penuh, dan memiliki prosedur teratur untuk untuk merumuskan kepentingan dan tuntutan.
Kelompok Birokrasi
Sebagaimana yang didefinisikan oleh Hague, Harrop dan Breslin bahwa “birokrasi adalah organisasi yang terdiri atas aparat bergaji yang melaksanakan detail tugas pemerintahan, memberikan nasehat dan melaksanakan keputusan kebijakan”. Lebih jauh dijelaskan bahwa birokrasi memiliki beberapa fungsi / tugas diantaranya adalah menjamin pertahanan-keamanan, memelihara ketertiban, menjamin keadilan, peningkatan kesejahteraan rakyat, pemeliharaan sumberdaya alam dan lain-lain. Eksistensi birokrasi merupakan organ utama dalam sisitem dan kegiatan pemerintahan yang oleh karenanya birokrasi dapat menjalankan peran-peran tertentu atas otoritas negara, yang merupakan suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh badan / institusi lain manapun.
Dalam kategori negara berkembang, Birokrasi dimata masyarakat tentunya masih mempunyai makna dan fungsi yang sangat dominan ketimbang di negara maju, dimana birokrasi itu sendiri lahir. Hal ini bisa dipahami karena birokrasi masih dipandang sebagi instrumen pokok negara untuk melaksanakan keputusan-keputusan serta kebijaksanaan. Dengan kata lain birokrasi menempati posisi sentral sebagai sistem untuk mengatur jalannya roda pemerintahan.
Menurut Idal Bahri Ismadi, salah satu ciri yang menonjol dalam birokrasi modern adalah hirarkhi jabatan-jabatan (atasan dan bawahan) dan terdapat rekruitmen, promosi, penggajian pemisahan bidang pribadi dengan jabatan yang kesemuanya diatur menurut undang-undang. Namun dalam pandangan Weber, birokrasi legal – rasional merupakan bentuk yang paling murni dari wewenang legal-rasional, impersonal dan netral. Mekanisme kerja biokrasi itu diatur dengan seperangkat aturan formal yang berjalan secara otomatis tanpa pandang bulu. Ditambahkan pula oleh Weber bahwa birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam rasionalitas dunia modern yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial.
Massa
Massa (mass) atau crowd adalah suatu bentuk kumpulan (collection) individu-individu, dalam kumpulan tersebut tidak terdapat interaksi dan dalam kumpulan tersebut tidak terdapat adanya struktur dan pada umumnya massa berjumlah orang banyak dan berlangsung lama.
  1. Massa menurut Gustave Le Bon (yang dapat dipandang sebagai pelopor dari psikologi massa) bahwa massa itu merupakan suatu kumpulan orang banyak, berjumlah ratusan atau ribuan, yang berkumpul dan mengadakan hubungan untuk sementara waktu, karena minat dan kepentingan yang sementara pula. Misal orang yang melihat pertandingan sepak bola, orang melihat bioskop dan lain sebagainya (Lih, Gerungan 1900).
  2. Massa menurut Mennicke (1948) mempunyai pendapat dan pandangan yang lain sehingga ia membedakan antara massa abstrak dan massa konkrit. Massa abstrak adalah sekumpulan orang-orang yang didorong oleh adanya persamaan minat, persamaan perhatian, persamaan kepentingan, persamaan tujuan, tidak adanya struktur yang jelas, tidak terorganisir. Sedangkan yang dimaksud dengan massa konkrit adalah massa yang mempunyai ciri-ciri:
- Adanya ikatan batin, ini dikarenakan adanya persamaan kehendak, persamaan tujuan, persamaan ide, dan sebagainya.
- Adanya persamaan norma, ini dikarenakan mereka memiliki peraturan sendiri, kebiasaan sendiri dan sebagainya.
- Mempunyai struktur yang jelas, di dalamnya telah ada pimpinan tertentu. Antara massa absrak dan massa konkrit kadang-kadang memiliki hubungan dalam arti bahwa massa abstrak dapat berkembang atau berubah menjadi konkrit, dan sebaliknya massa konkrit bisa berubah ke massa abstrak. Tetapi ada kalangan massa abstrak bubar tanpa adanya bekas. Apa yang dikemukakan oleh Gustave Le Bon dengan massa dapat disamakan dengan massa abstrak yang dikemukakan oleh Mennicke, massa seperti ini sifatnya temporer, dalam arti bahwa massa itu dalam waktu yang singkat akan bubar.
- Massa menurut Park dan Burgess (Lih. Lindzey, 1959) membedakan antara massa aktif dan massa pasif, massa aktif disebut mob, sedangkan massa pasif disebut audience. Dalam mob telah ada tindakan-tindakan nyata misalnya dimontrasi, perkelahian massal dan sebagianya. Sedangkan pada tindakan yang nyata, misal orang-orang yang berkumpul untuk menjadi mob, sebaliknya mob dapat berubah menjadi audience.