PEMERATAAN EKONOMI

Pemudik pada Lebaran Idul Fitri tahun 2010 mencapai 16-18 juta orang. Fenomena pergerakan jutaan manusia dari kota ke desa ini hanya untuk sementara waktu. Setelah bersilaturahim dengan sejumlah keluarga dan kerabat di kampung halaman, mereka akan kembali lagi ke kota.

Kaum pendatang baru yang bergabung dalam arus balik adalah gelombang angkatan kerja yang terpesona dengan cerita-cerita sukses yang dibawa oleh para pemudik, sehingga mereka memutuskan untuk mengadu nasib di Ibu Kota. Gelombang urbanisasi ini tentunya akan semakin menambah masalah yang sudah kompleks di Ibu Kota, misalnya, kepadatan, kemacetan, pengangguran, kriminalitas, dan permasalahan sosial.

Fenomena pendatang baru di Ibu Kota adalah potret nyata kegagalan konsep pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Desentralisasi pembangunan ekonomi yang dimanifestasikan melalui otonomi daerah telah gagal menciptakan kantong-kantong pertumbuhan ekonomi di daerah dan pedesaan. Aktivitas ekonomi masih menumpuk di kota-kota besar di Pulau Jawa, khususnya Ibu kota Jakarta. Akhirnya, sebagian angkatan kerja desa lebih memilih nekat berangkat ke Ibu Kota untuk mengadu nasib dengan risiko harus berkejar-kejaran dengan petugas Operasi Yustisi Kependudukan.

Meski pemerintah pusat telah menambah anggaran yang mengalir ke daerah dari tahun ke tahun, sebut saja, misalnya untuk tahun anggaran 2011, anggaran daerah mencapai Rp 378,4 triliun. Naik 9,8 persen dari APBN-P tahun 2010 atau meningkat lebih dari dua kali lipat dari APBN tahun 2005 yang hanya mencapai Rp 150,5 triliun.

Anggaran ini dialirkan ke 524 daerah otonomi yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota, melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Namun, aliran anggaran ini kurang maksimal dalam mendinamisasi perekonomi daerah. Daya tarik ekenomi masih saja menumpuk di Pulau Jawa dan Jakarta. Akibatnya, urbanisasi yang sebagiannya melalui momen arus balik, tak terelakkan lagi.

Urbanisasi ini sekaligus menjadi kritik terhadap kualitas pertumbuhan ekonomi nasional yang selama ini digembor-gemborkan oleh pemerintah, yang pada 2010 ini diperkirakan akan melampaui angka 6 persen.

Sektor non-tradeable yang meliputi sektor perdagangan, hotel, restoran, pengangkutan, dan komunikasi, masih mendominasi dengan 71,9 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, sektor tradeable (pertanian, industri dan pertambangan) yang daya serap tenaga kerjanya menurut BPS bisa mencapai 56,6 persen, hanya menyumbang 28,1 persen terhadap pertumbuhan.

Pertumbuhan ekonomi nasional selama ini masih diwakili oleh wilayah tertentu. Data pertumbuhan ekonomi 2009 yang sebesar 4,5 persen masih didominasi Pulau Jawa, sebesar 57,6 persen adalah DKI Jakarta sebagai penyumbang utamanya. Sedangkan, Pulau Sumatra hanya 23,5 persen, Kalimantan 9,5 persen, Sulawesi 4,6 persen, dan pulau lainnya sebeser 4,8 persen. “Kegagahan” kinerja ekonomi nasional ternyata masih rendah dalam menyerap tenaga kerja dan gagal menciptakan multiplier effect berupa dinamisasi ekonomi daerah. Kinerja makro ekonomi saat ini belum bisa mencapai apa yang dicanangkan oleh SBY dalam strategi pembangunan nasional yang pro-growth, pro-job, dan pro-poor.

Yang harus dilakukan adalah menciptakan keseimbangan ekonomi di Pulau Jawa dan luar Jawa. Kegiatan ekonomi harus tersebar ke seluruh pelosok Tanah Air. Keseimbangan ekonomi perkotaan dan pedesaan juga perlu dijaga. Tren urbanisasi harus mulai dikendalikan dan dikelola secara baik demi menghindari penumpukan penduduk di daerah perkotaan, seperti apa yang terjadi di Jakarta saat ini.

Penyebaran aktivitas ekonomi berupa penciptaan kota-kota baru berukuran menengah di berbagai wilayah di Indonesia perlu segera dilakukan. Wilayah pedesaan berkonsentrasi pada pengembangan sumber daya alam sesuai potensinya, dan tentunya saling bekerja sama dengan wilayah-wilayah lain. Tiap-tiap daerah memproduksi dan saling menyuplai barang mentah sesuai dengan potensinya. Barang jadi hasil produksi daerah kemudian didistribusikan ke pasar domestik dan pasar internasional. Dinamisasi perekonomian di daerah-daerah akan secara otomatis berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Inilah makna sebenarnya dari pembangunan ekonomi berbasis otonomi daerah.

Selain peran pemerintah pusat dalam hal pembangunan infrastruktur secara merata ke seluruh wilayah tanah air, peran pemerintah daerah sangat diperlukan demi mengoptimalkan potensi wilayahnya. Mereka harus membangun ekonomi daerahnya demi kepentingan warga. Sehingga warganya tidak perlu ke daerah lain untuk mencari penghidupan.

Pemerintah daerah harus mengajak pelaku ekonomi swasta dalam pengembangan ekonomi wilayahnya. Mereka juga perlu melakukan kerja sama dengan pihak investor luar negeri dalam pengelolaan sumber daya alam dan kerja sama dengan negara lain dalam hal pemasaran produk lokal. Hal ini semuanya bisa dilakukan atas nama otonomi daerah demi kepentingan ekonomi daerah dan warganya.

Hal lain yang bisa dilakukan untuk menciptakan penyebaran pertumbuhan ekonomi adalah dengan cara pemindahan pusat pemerintahan. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat Jakarta saat ini sudah tidak mampu lagi menampung beban ekonominya. Kepadatan, kemacetan, banjir, kriminalitas, kesemrautan tata ruang, kemiskinan, dan permasalahan sosial lainnya membuat Jakarta sudah tidak nyaman lagi ditempati. Apalagi arus mudik dan pendatang baru yang terus berdatangan, akan semakin menambah beban Jakarta.

KRISIS MONETER DAN DAMPAKNYA TERHADAP REPELITA VII

Perkembangan nilai tukar Rupiah yang kita hadapi sejak Agustus 1997 hingga awal tahun 1998 ini menunjukkan gejolak yang lebih panjang dan lebih dalam. Nilai rupiah telah merosot lebih dari 75 persen sejak bulan Juli 1997 yang lalu. Depresiasi Rupiah, yang banyak pihak menyatakan telah melebihi kewajaran ini, berkembang menjadi krisis ekonomi. Bagaimana proses terjadinya krisis ini masih belum dapat ditentukan secara tepat, namun ada beberapa faktor yang diperkirakan dominan mendorong terjadinya krisis.

Sejak dilepaskannya rentang intervensi dalam bulan Agustus 1997 yang lalu, terdapat faktor internal yang menyebabkan tajamnya penurunan nilai tukar rupiah. Kita harus mengakui adanya faktor imbas dari gejolak nilai tukar mata uang negara-negara tetangga, yang dimulai dari Thailand. Namun, faktor eksternal tersebut diperkirakan lebih kecil efeknya daripada dua masalah internal perekonomian kita yang mencuat ke permukaan selama dua tahun terakhir.

Masalah pertama adalah akumulasi serta membengkaknya kesenjangan tabungan dan investasi masyarakat yang tercermin pula dalam defisit transaksi berjalan. Misalnya dalam kurun waktu 1993/94-1996/97, defisit transaksi berjalan terus mengalami peningkatan dari US$ 2,9 miliar menjadi US$ 8,1 miliar.

Kedua, adalah lemahnya sektor perbankan seperti tercermin dari besarnya kredit macet yang disebabkan oleh praktek perbankan yang tidak berhati-hati (prudent). Banyak kredit disalurkan bukan berdasarkan pada kriteria-kriteria yang umum digunakan, misalnya keuntungan. Banyak bank yang menyalurkan hanya kepada kelompok-kelompok bisnisnya.

Pemerintah tidak boleh melupakan program pengentasan masyarakat miskin. Pemerintah masih bertekad bahwa kemiskinan absolut sebagian besar sudah akan terselesaikan pada akhir Repelita VII. Dalam penanggulangan kemiskinan, kita telah mendapatkan hasil yang cukup menggembirakan, walaupun jumlah penduduk miskin masih besar. Saudara kita yang harus hidup di bawah garis kemiskinan absolut berjumlah 22,5 juta atau sekitar 11,3 persen. Program ini harus dilanjutkan, bahkan ditingkatkan dalam Repelita VII.

Di samping menjaga stabilitas politik, salah satu tugas utama pemerintah dalam menarik minat investor dalam Repelita VII, adalah melanjutkan proses pemulihan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia. Melanjutkan pemulihan kepercayaan terhadap mata uang rupiah dan pasar modal harus menjadi prioritas utama. Karena hanya dengan kepercayaan yang semakin mantap ini, maka investasi dan oleh karena itu pertumbuhan ekonomi, akan mencapai tingkat yang berkelanjutan lagi.

Pemantapan pelaksanaan reformasi ekonomi harus terus dilanjutkan. Kebijaksanaan ekonomi yang akan diambil dalam Repelita VII harus pula mengacu pada komitmen pemerintah terhadap lingkungan internasional, seperti WTO, APEC dan AFTA.

Sumber pertumbuhan yang kedua adalah pertumbuhan angkatan kerja. Secara kuantitas, faktor ini tidak menjadi permasalahan. Namun agar efektif diperlukan sumber daya manusia yang lebih baik. Dalam jangka pendek memang kita tidak akan kekurangan tenaga kerja tetapi pada saat kita terlepas dari resesi ini, apalagi bila struktur industri kita menjelma dengan bentuk yang berbeda, kebutuhan akan sumber daya manusia yang lebih berkualitas tidak dapat dihindari.

Selain itu, telah terbukti selama ini bahwa peningkatan pendidikan masyarakat kita merupakan ‘modal’ bagi masyarakat kita yang berpendapatan rendah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian, selain untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dengan lebih cepat, pendidikan juga akan memperkecil tingkat kesenjangan pada masyarakat kita.

Untuk itu dalam Repelita VII segala upaya wajib belajar yang telah dilakukan di sekolah dasar akan terus dilanjutkan. Program Wajib Belajar 9 tahun (WAJAR 9 tahun) akan tetap mendapatkan prioritas yang tinggi, sehingga dapat dilakukan sesuai rencana, yaitu selambat-lambatnya tuntas pada Repelita VIII. Perbaikan kurikulum perlu dilakukan pada semua tingkat pendidikan. Upaya peningkatan tingkat partisipasi pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas akan terus diupayakan selama Repelita VII ini. Selanjutnya dalam situasi yang sulit ini kita juga tidak akan melupakan pendidikan tinggi. Dalam suasana ekonomi yang makin terbuka dan bebas ini lulusan pendidikan tinggi akan makin dibutuhkan. Sudah tentu pemerintah tidak dapat melakukan sendiri penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut. Pemerintah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk ikut serta dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi. Dengan makin banyaknya lulusan perguruan tinggi diharapkan kita akan semakin kompetitif.

Sumber pertumbuhan ketiga adalah peningkatan produktivitas. Peningkatan kualitas SDM seperti diuraikan di atas akan sangat menunjang peningkatan produktivitas, utamanya setelah proses penyesuaian yang sedang kita alami saat ini. Tidak kalah pentingnya sebagai sumber peningkatan produktivitas adalah realokasi sumber daya ekonomi. Reformasi ekonomi yang sedang pemerintah lakukan akan membebaskan segala macam hambatan dalam realokasi sumber daya ekonomi tersebut. Berbagai keputusan akan lebih banyak dilakukan oleh para pelaku pasar.

Namun penurunan produktivitas tenaga kerja mungkin akan terjadi dalam proses penyesuaian. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan dunia usaha kita untuk tidak begitu saja memecat para karyawannya. Dengan demikian, walaupun produktivitas mungkin akan menurun, namun hal ini masih lebih baik bagi pekerja daripada harus kehilangan pekerjaan. Selain itu, dunia usaha juga akan dapat segera meningkatkan produktivitas usahanya dengan cepat jika proses penyesuaian telah berhasil dilaluinya, tanpa harus mencari dan melatih pekerja baru lagi.

Dalam rangka peningkatan produktivitas tersebut, peningkatan peran pemerintah daerah harus ditingkatkan. Karena pemerintah daerahlah yang merupakan ujung tombak dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah. Pemerintah daerah lebih mengetahui karakteristik daerah dan kebudayaan setempat. Proses umpan balik dari masyarakatpun diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat. Sehingga agenda yang penting dalam Repelita VII adalah mendorong proses desentralisasi.

Di lain pihak, desentralisasi tidaklah cukup hanya dengan kemauan politik semata. Desentralisasi harus pula dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia di daerah. Karena kemampuan sumber daya yang tidak memadai justru akan menurunkan efisiensi dan efektivitas dari proyek pembangunan di daerah.

Walaupun kita masih menghadapi krisis ekonomi yang sangat berat ini, tetapi saya percaya bahwa ekonomi kita jauh akan lebih sehat setelah krisis ini terlewati.

PERTUMBUHAN EKONOMI

I. DEFINISI PERTUMBUHAN EKONOMI

Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.

II. PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KENAIKAN PRODUKTIVITAS

Sementara negara-negara miskin berpenduduk padat dan banyak hidup pada taraf batas hidup dan mengalami kesulitan menaikkannya, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, negara-negara Eropa Barat, Australia, Selandia Baru, dan Jepang menikmati taraf hidup tinggi dan terus bertambah. Pertambahan penduduk berarti pertambahan tenaga kerja serta berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang mengakibatkan kenaikan output semakin kecil, penurunan produk rata-rata serta penurunan taraf hidup. Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang kapital, kemajuan teknologi, serta kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja cenderung mengimbangi berlakunya hukum Pertambahan Hasil yang Berkurang. Penyebab rendahnya pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah berlakunya hukum penambahan hasil yang semakin berkurang akibat pertambahan penduduk sangat cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berupa pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, dan kemajuan teknologi.

III. PERMINTAAN AGREGRATIF DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Pada gambar ini dianggap bahwa tingkat PNN kesempatan kerja penuh pada thaun 1998 A sebesar 26 trilyun rupiah dan skedul permintaan agregratifnya adalah C+I+C1 hingga tingkat PNN kesempatan kerja penuh dapat dicapai karena sama dengan tingkat pendapatan keseimbangannya. Misalkan terjadi pertumbuhan kapasitas produksi akibat adanya pertambahan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi hingga tingkat PNN kesempatan kerja penuh pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1998 B menjadi 27 trilyun rupiah atau kenaikan sebesar kira-kira 4% dalam output riil. Agar potensi produksi total dapat direalisasikan maka permintaan agregratif harus naik dengan laju pertumbuhan yang cukup untuk memelihara tingkat kesempatan kerja penuh.Karenanya permintaan agregratif harus bergeser keatas menjadi C+I+C2. Bila tidak atau naik secara lebih kecil maka kenaikan kapasitas produksi tak dapat direalisasikan dan dimanfaatkan.

IV. Peranan Penting Pemerintah dalam Pertumbuhan Ekonomi

1. Beberapa negara sedang berkembang mengalami ketidakstabilan sosial, politik, dan ekonomi. Ini merupakan sumber yang menghalangi pertumbuhan ekonomi. Adanya pemerintah yang kuat dan berwibawa menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban hukum serta persatuan dan perdamaian di dalam negeri. Ini sangat diperlukan bagi terciptanya iklim bekerja dan berusaha yang merupakan motor pertumbuhan ekonomi.

2. Ketidakmampuan atau kelemahan sektor swasta melaksanakan fungsi entreprenurial yang tersedia dan mampu mengadakan akumulasi kapital dan mengambil inisiatif mengadakan investasi yang diperlukan untuk memonitori proses pertumbuhan.

3. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil akumulasi kapital dan investasi yang dilakukan terutama oleh sektor swasta yang dapat menaikkan produktivitas perekonomian. Hal ini tidak dapat dicapai atau terwujud bila tidak didukung oleh adanya barang-barang dan pelayanan jasa sosial seperti sanitasi dan program pelayanan kesehatan dasar masyarakat, pendidikan, irigasi, penyediaan jalan dan jembatan serta fasilitas komunikasi, program-program latihan dan keterampilan, dan program lainnya yang memberikan manfaat kepada masyarakat.

4. Rendahnya tabungan-investasi masyarakat (sekor swasta) merupakan pusat atau faktor penyebab timbulnya dilema kemiskinan yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Seperti telah diketahui hal ini karena rendahnya tingkat pendapatan dan karena adanya efek demonstrasi meniru tingkat konsumsi di negara-negara maju olah kelompok kaya yang sesungguhnya bias menabung.

5. Hambatan sosial utama dalam menaikkan taraf hidup masyarakat adalah jumlah penduduk yang sangat besar dan laju pertumbuhannya yang sangat cepat. Program pemerintahlah yang mampu secara intensif menurunkan laju pertambahan penduduk yang cepat lewat program keluarga berencana dan melaksanakan program-program pembangunan pertanian atau daerah pedesaan yang bisa mengerem atau memperlambat arus urbanisasi penduduk pedesaan menuju ke kota-kota besar dan mengakibatkan masalah-masalah social, politis, dan ekonomi.

6. Pemerintah dapat menciptakan semangat atau spirit untuk mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dan tidak hanya memerlukan pengembangan faktor penawaran saja, yang menaikkan kapasitas produksi masyarakat, yaitu sumber-sumber alam dan manusia, kapital, dan teknologi, tetapi juga faktor permintaan luar negeri. Tanpa kenaikkan potensi produksi tidak dapat direalisasikan.

EKONOMI TERPIMPIN

Pengertian Ekonomi Terpimpin.

Ekonomi terpimpin secara istilah yang disebutkan Bung Hatta yaitu merupakan konsekuensi dan nasionalisme yang timbul sebagai bentuk dari perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme.

Prinsip ekonomi terpimpin sejalan dengan sila ke-5 pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dikarenakan adanya pemerataan pembagian kesejahteraan di semua lapisan masyarakat dan mereka dapat merasakannya.

Ekonomi terpimpin serupa dengan ekonomi sosialis. Menurut Bung Hatta ekonomi terpimpin merupakan rival dari sistem ekonomi liberal. Dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pihak pasar, sedangkan pemerintah tidak boleh campur tangan dalam hal tersebut. Atau juga ikut andil dalam mengatur keadaan pasar sehingga peraturan tersebut tidak memberikan gerak bebas bagi pasar.

Keunggulan Ekonomi Terpimpin.

Dalam konteks ini, kita bisa mengingat apa yang pernah ditulis Hatta pada saat dia masih berusia 26 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa (ditulis Maret 1928). Begini ia menulis waktu itu: “Pemerintah harus banyak campur tangan dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin dengan mengadakan petunjuk, tetapi harus bebas dari perbuatan birokrasi. Dalam pelaksanaan ekonomi yang berpedoman kepada prinsip murah, lancar, dan cepat, tidak ada yang lebih berbahaya dari pada birokrasi."

Dan juga pemerintah selayaknya turut pula memberikan aturan-aturannya. Supaya terciptanya pemerataan ekonomi di semua kalangan masyarakat, sehingga yang kaya tidak semakin kaya sedangkan yang miskin tidak semakin miskin.

Coba kita kembali lagi berkaca kepada salah satu negara yang menggunakan sistem ekonomi sosialis seperti Republik Rakyat Cina. Maka kita akan melihat keadaan pendapatan masyarakatnya yang merata, sehingga tidak akan anda menjumpai permasalahan ketimpangan-ketimpangan ekonomi di negara ini, sekalipun negara ini negara yang mempunyai penduduk terbanyak di dunia.

Bahkan buktinya, kini negara Republik Rakyat Cina mampu menjadi negara urutan ketiga yang pertumbuhan ekonominya melesat pesat setelah urutan pertama diduduki oleh Uni Eropa dan posisi urutan kedua diduduki oleh India.

Dari contoh di atas, dengan itu keadilan sosial untuk rakyat niscaya akan tercapai, keadaan ekonomi akan bertambah baik dan kemajuan untuk negara akan diraih. Seperti yang sering digembar-gemborkan oleh Pancasila dalam silanya yang ke-5 yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” yang akan mengantarkan negara untuk memenuhi keadilannya dalam membagi kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dengan ini maka cita-cita nasionalisme akan tercapai. Berbicara masalah jenisnya, ekonomi terpimpin dibagi menjadi enam jenis, yaitu :

1. Ekonomi terpimpin menurut ideologi komunisme.

2. Ekonomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi.

3. Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme.

4. Ekonomi terpimpin menurut faham kristen sosialis.

5. Ekonomi terpimpin berdasar ajaran Islam

6. Ekonomi terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial.

Yang pasti dari enam aliran ekonomi terpimpin itu kesemuanya itu menolak adanya kepentingan individu, yang mana kepentingan orang banyak akan terkalahkan oleh kepentingan segelintir orang tersebut. Hal ini justru benar-benar terlihat dari sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan per-individu saja sedangkan masyarakat banyak yang lebih membutuhkannya malah kenyataannya terabaikan.